PENDAHULUAN
Kemunculan dan perkembangan Islam tentu membawa ke arah perubahan, juga tak lepas dari peran para tokoh Islam. Namun, bersamaan dengan perputaran dunia, modernisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dari hari ke hari yang semakin berkembang, malah akhir-akhir ini membuat banyak generasi muda tidak mengenal para tokoh Islam yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan dunia pendidikan tersebut, salah satunya Al Ghazali.
Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan beberapa hal yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia seutuhnya. Di zaman yang modern ini sangat relevan untuk mengetahui konsep pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini.
Maka dalam makalah ini, akan dibahas mengenai siapa sesungguhnya Al-Ghazali dan bagaimana konsep pendidikan menurutnya yang meliputi subjek didik, kurikulum, metode dan evaluasi pendidikan.
Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan beberapa hal yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia seutuhnya. Di zaman yang modern ini sangat relevan untuk mengetahui konsep pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini.
Maka dalam makalah ini, akan dibahas mengenai siapa sesungguhnya Al-Ghazali dan bagaimana konsep pendidikan menurutnya yang meliputi subjek didik, kurikulum, metode dan evaluasi pendidikan.
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhamad bin Ahmad Al-Ghazali. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah Al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.
Al-Ghazali lahir pada tahun 450H/1058M didesa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “hiasan agama” (Zainuddin), “samudra yang menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Al-Ghazali memiliki keahlian berbagai disiplin ilmu, baik sebagai filosuf, sufi, maupun pendidik. Ia menyusun beberapa kitab dalam rangka menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama. Pada dasarnya, buku-buku yang dikarangya, merupakan upayanya untuk membersihkan hati umat Islam dari kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik Islam maupun Barat (Orientalis). Karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembinaan pembelaaan terhadap serangan-serangan demikian, maka ia diberi gelar Hujjat al-islam.
Al-Ghazali lahir pada tahun 450H/1058M didesa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “hiasan agama” (Zainuddin), “samudra yang menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Al-Ghazali memiliki keahlian berbagai disiplin ilmu, baik sebagai filosuf, sufi, maupun pendidik. Ia menyusun beberapa kitab dalam rangka menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama. Pada dasarnya, buku-buku yang dikarangya, merupakan upayanya untuk membersihkan hati umat Islam dari kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik Islam maupun Barat (Orientalis). Karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembinaan pembelaaan terhadap serangan-serangan demikian, maka ia diberi gelar Hujjat al-islam.
Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan. Karenannya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru dikota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al-Radzikani. Selain itu ia tidak segan-segan belajar dengan guru-guru didaerah lain yang jauh dari kampung halamannya. Untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya, ia kemudian hijrah ke Naisabur dan belajar dengan Imam al-Juwaini.
Masa mudanya bertepatan dengan bermunculan para cendekiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan saat itu menunjukan kemakmuran tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan kebenaran para ulamanya. Dunia tampak tegas disana, sarana kehidupan mudah didapatkan, masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penunutut ilmu ditanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh al-Ghazali untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Mulu-mula ia belajar agama, sebagai pendidikan dasar, kepada seorang ustad setempat, Ahmad bin Muhammad Radzkafi. Kemudian Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan menjadi santri Abu Nashr Ismaili.
Setelah menamatkan studi di Thus dan Jurjan, al-Ghazali melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di Naisabur dan ia bermukim disana. Tidak berapa lama mulailah mengaji kepada al-Juwaini, kepadanya al-Ghazali belajar Ilmu Kalam, Ilmu Ushul, Madzhab Fiqih, retorika, logika, tasawuf dan filsafat. Al-Juwaini kemungkinan dipandang oleh al-Ghazali sebagai syaikh yang paling alim di naisabur saat itu, sehingga kewafatannya menyebabkan kesedihan yang mendalam baginya. Tetapi akhirnya peristiwa itu mengharuskannya melangkah lebih jauh, ditinggalkanlah Naisabur menuju Mu’askar, suatu tempat atau lapangan luas yang disana didirikan barak-barak militer Nidhamul Muluuk, perdana menteri saljuk. Tempat itu sering digunakan untuk berkumpul para ulama ternama. Karena sebelumnya keunggulan dan keagungan nama al-Ghazali telah dikenal oleh perdana menteri, kehadiran al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan. Dan ternyata benar, setelah beberapa kali al-Ghazali berdebat dengan para ulama disana, mereka tidak segan-segan mengakui keunggulan ilmu al-Ghazali karena berkali-kali argumentasinya tidak dapat dipatahkan. Sejak saat itulah al-Ghazali namanya tersohor dimana-mana.
Pada tahun 1901 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat menjadi dosen pada Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 34 tahun Al Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) universitas tersebut. Selama menjadi rektor, Al Ghazali banyak menulis buku yang meliputi beberapa bidang, seperti fikih, ilmu kalam, dan buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah, dan filsafat. Karir Al Ghazali semakin meningkat tetapi Al Ghazali juga mengalami krisis kebatinan sehingga ia memutuskan untuk menghabiskan sisa umurnya untuk membaca Al-Quran dan hadis serta mengajar. Disamping rumahnya, didirikan madrasah untuk para santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalwat bagi para sufi. Pada hari senin, tanggal 14 Jumadatsaniyah tahun 505 H/ 1 Desember 1111 M, Al-Ghazali pulang kehadirat Allah dalam usia 55 tahun, dan dimakamkan di sebelah tempat khalwat (Khanaqah)-nya.
B. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
Pendidikan menurut Al-Ghazali merupakan proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Tujuan pendidikan menurut al-Gazali adalah membentuk manusia shalih. Manusia shalih ialah manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya.
a. Subyek Didik
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali, dapat dimengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan, sedangkan pendidikan itu sendiri dalam prosesnya juga memerlukan alat yakni pengajaran atau ta’lim.
1) Guru atau Pendidik
Munculnya kata pendidik tidak lepas dari kata “pendidikan”. Umumnya kata pendidikan dibedakan dari kata pengajaran. Menurut Prof. Dr. Muh. Said, pandangan semacam itu dipengaruhi oleh kebiasaan berpikir orang Barat, khususnya orang Belanda yang membedakan kata onderwijs (pengajar) dengan kata opveoding (pendidikan). Pola pikir semacam ini diikuti oleh tokoh-tokoh pendidikan di dunia Timur, termasuk guru-guru muslim seperti Muhammad Naquib al-Atas. Dalam bukunya The Concept of Education in Islam, beliau membedakan secara tajam antara kata “ta’dib” (pendidikan) dan “tarbiyah” atau “ta’lim” (pengajaran).
Al-Ghazali menyebutkan beberapa hal yang menjadi tugas dan tanggung jawab guru profesional, sebagai berikut:
a. Guru ialah orang tua kedua didepan murid.
b. Guru sebagai pewaris ilmu Nabi.
c. Guru sebagai penunujuk jalan dan pembimbing keagamaan murid.
d. Guru sebagai sentral vigur bagi murid.
e. Guru sebagai motivator bagi murid.
f. Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid.
g. Guru sebagai teladan bagi muruid.
Menurut Al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliq-Nya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu pendidik dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek tazkiyah an-nafs.
Seorang pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya. Diantara sifat-sifat tersebut adalah :
1. Sabar dalam menanggapi pertanyaan murid.
2. Senantiasa bersifat kasih, tanpa pilih kasih (objektif).
3. Duduk dengan sopan, tidak riya atau pamer.
4. Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim dengan maksud mencegah tindakannya.
5. Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah
6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan.
7. Memiliki sifat bersahabat terhadap semua murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak membentak orang-orang yang bodoh,
9. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang anda persoalkan.
11. Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.
2) Murid
Menurut al-Ghazali, Subjek didik yang selanjutnya yaitu murid. Beliau menguraikan hal-hal yang harus dipenuhi murid dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
a. Belajar merupakan proses jiwa.
Pada hakikatnya, yang wajib belajar adalah murid sedangkan guru bertugas membimbingnya, berperan sebagai penunujuk jalan dalam belajar. Seorang siswa yang belajar tanpa bimbingan atau arahan guru, apa lagi yang dipelajari adalah berbagai disiplin ilmu, bisa jadi ia tidak akan memperoleh ilmu itu, mengingat psikisnya terutama yang menyangkut intelektualnya harus sesuai dengan materi keilmuan yang hendak dikuasai. Kalaupun ia dapat memperoleh ilmu itu, kemungkinan kurang bermanfaat bagi dirinya. Bagaimanapun juga, guru sangat besar peranannya dalam proses pendidikan. Seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa sarat keberhasilan seorang siswa dalam belajar adalah adanya petunjuk dari seorang guru.
b. Belajar menuntut konsentrasi
Sesuai dengan pandangan al-Ghazali tentang tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri pada Allah, dan itu tidak akan terwujud kecuali dengan mensucikan jiwa serta melaksanakan ibadah kepada-Nya, beliau menyarankan agar murid memusatkan konsentrasinya terhadap ilmu yang sedang dikaji, ia harus mengurangi ketergantungannya kepada masalah keduniaan.
c. Belajar harus didasari sikap tawadhu’
Pandangan al-Ghazali yang sufi senantiasa mewarnai pendapat yang dikemukakannya. Berkaitan dengan tugas murid dalam kegiatan belajar mengajar, al-Ghazali menasehatkan agar murid mempunyai sikap tawadhu’ dan merendahkan diri terhadap ilmu dan guru, sebagai perantara diterimanya ilmu itu.
d. Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya
Al-Ghazali menasihatkan kepada murid agar tidak melibatkan diri dalam perdebatan atau diskusi tentang segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkokoh pandangan dasar ilmu-ilmu itu. Disinilah tampak pentingnya seorang guru untuk menunujukan cara belajar bagi murid. Guru yang tidak dapat dipegangi pendapatnya, apalagi hanya menukil pendapat-pendapat orang lain tanpa mengemukakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, ia tidak patut dijadikan pembimbing dan penasihat. Jika murid tidak mengetahui pengetahuan dasar tentang segala perdebatan maka ia akan jadi orang fanatik dalam masalah-masalah furu’ sehingga sering menyalahkan orang lain. Tetapi lain halnya dengan murid yang mempunyai pengetahuan dasar penyebab perbedaan pendapat dan perselisihan paham tersebut maka ia tidak akan fanatisme terhadap madzhab atau aliran tertentu, tidak menyalahkan orang lain, apalagi sampai mengkafirkan dan sebagainya.
e. Harus mengetahui nilai dan tujuan pengetahuan yang dipelajari
Pandangan al-Ghazali terhadap ilmu mendasari pemikirannya mengenai bagaimana langkah terbaik dalam mengkaji suatu ilmu pengetahuan. Ilmu menurut al-Ghazali mempunyai nilai yang bebeda-beda. Begitu pula tujuannya, ada yang sangat penting, kurang penting dan tidak penting.
f. Belajar secara bertahap
Sesuai dengan pandangannya terhadap manusia bahwa ia dapat menerima ilmu pengetahuan dengan baik jika prosesnya sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya, dan pandangannya bahwa ilmu itu dalam berbagai macamnya saling terkait dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa pelajar yang ingin menguasai ilmu dengan baik serta mendalam haruslah belajar secara bertahap.
g. Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali ialah mendekatkan diri kepada Allah. Dengan dilandasi pandangan terhadap manusia bahwa pekerjaannya yang paling mulia ialah mendidik, menjadi guru, al-Ghazali menasihatkan agar murid dalam belajar bertujuan menjadi ilmuan yang sanggup, menyebarluaskan ilmunya demi nilai-nilai kemanusiaan. Seorang murid menurut al-Ghazali haruslah menjadi calon guru, minimal guru bagi dirinya sendiri dengan berakhlakul karimah dan keluarganya dengan mrenjadi uswatun khasanah aatu teladan.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung kepada agama tauhid (Islam). Untuk itu tugas seorang pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
Menurut al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memiliki tugas dan kewajiban, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa.
1. Mendahulukan kesucian jiwa.
2. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru.
4. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlaq al-karimah (Q.S. Al-An’am: 162, Adz Dzaariyaat:56).
2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.S. Adh Dhuhaa:4).
3) Bersikap tawadhu’ (rendah hati)
4) Menjaga pikiran & pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, untuk ukhrawi dan duniawi.
6) Belajar dengan bertahap atau berjenjang, dimulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah (QS Al-Fath:9).
7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
9) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
b. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu:
1. Ilmu yang tercela yang tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain sebagainya.
2. Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
3. Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu:
1) Ilmu fardhu, harus diketahui oleh semua Muslim, yaitu ilmu agama.
2) Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri.
Menurut Abudin Nata, yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan.
2. Ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
3. Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
1) Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
2) Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari kegunaannya dalam bentuk amaliah.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.
c. Metode Pendidikan
Untuk melakukan pentahapan pada kurikulum tersebut, lahirlah metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1) Metode khusus pendidikan agama
Metodik pendidikan agama islam menurut Al-Ghozali, pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. Yang demikian inni merupakan pantulan dari sikap hidupnya yang shufi dan tekun beribdah. Dari pengarangan pribadinya Al-Ghozali menemukan cara untuk mencegah manusia dari keraguan terhadap persoalan agama ialah adanya keimanan terhadap Allah, menerima dengan jiwa yang jernih dan akidah yang pasti pada usia sedini mungkin. Kemudian menkokohkannya dengan argumentasi yang didasarkan atas pengkajian dan penafsiran Al- Qur’an dan Hadist secara mendalam disertai dengan tekun beribadah, bukan melalui Ilmu kalam atau lainnya yang bersumber pada akal.
2) Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Ada akhlak terpuji dan tercela.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
a) Kesempurnaan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b) Kesempurnaan yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
d. Evaluasi Pendidikan Menurut Al Ghazali
b) Kesempurnaan yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
d. Evaluasi Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur, dan menghitung segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu yang akan datang.
Adapun subyek evaluasi pendidikan adalah orang yang terikat dalam proses kependidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses kependidikan.
Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau sarana lain yang lebih menguntungkan.
KESIMPULAN
Al Ghazali atau Muhammad bin Muhammad bin Muhamad bin Ahmad Al-Ghazali merupakan tokoh pendidikan Islam yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya dalam bidang kependidikan Islam. Menurutnya, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia sampai akhir hayatnya menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Tujuan pendidikan menurut al-Gazali adalah membentuk manusia shalih.
Menurut Al-Ghazali, subjek pendidikan terdapat dua kategori, yaitu Pendidik dan Murid. Sedangkan dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika serta didasarkan pada dua kecenderungan: kecenderungan agama dan tasawuf; dan kecenderungan pragmatis.
Sementara metode yang digunakan yaitu dimulai dengan hafalan dan pemahaman kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran. Pendidikan apapun, menurut Al-Ghozali harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Evaluasi menurutnya yaitu usaha menimbang segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan.
Adapun subyek evaluasi pendidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses kependidikan. Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Imarah, Muhammad. 45 Tokoh Pengukir Sejarah. Pajang: Era Intermedia, 2007.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. hal. 28.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Rusn, Abidin Ibn. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali. Semarang: Dina Utama, cet I, 1993.
Zainuddin dkk.. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara, 1991Sulaiman, Fathiyah Hasan. Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali. Semarang: Dina Utama, cet I, 1993.
sumber : https://isnaizakiya29.wordpress.com/2013/12/20/pemikiran-pendidikan-islam-menurut-al-ghazali/